Monday, January 19, 2009

Day 23

What Women (Really) Want?

ANDA tahu film “What Women Want”? Ini salah satu film favorit saya. Ceritanya berkisar pada Nick Marshall, account executive sebuah biro iklan. Nick yang diperankan oleh Mel Gibson ini orangnya ganteng, gagah, punya karir yang bagus, dan masih bujangan. Pendeknya, tipe pria yang menjadi idaman para wanita.

Suatu hari, ketika sedang di kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan hairdryer, Nick terpeleset dan jatuh ke bathtub yang berisi air. Tak pelak, ia pun kesetrum dan jatuh pingsan. Ketika siuman, entah bagaimana, Nick bisa mendengar apa-apa yang ada di pikiran wanita. Semua wanita yang ditemuinya bisa didengar pikirannya. Kadang malah ada dua suara sekaligus yang didengarnya dari satu wanita yang sama; satu ucapan lisan yang keluar dari mulut si wanita, satu lagi “ucapan” dari pikiran si wanita.

Nick pun bingung dan mengira otaknya terganggu. Ketika Nick menemui seorang terapis, terapis ini malah ngomong supaya Nick tidak perlu risau. Terapis ini bilang kalau inilah anugerah terbaik yang pernah diberikan Tuhan kepada Nick. “If Men are from Mars and Women are from Venus, and you can speak Venusian, the world can be yours,” begitu kata terapis tadi.

Sadar akan hal ini, Nick lantas memanfaatkan “bakat” barunya ini untuk kepentingannya sendiri, termasuk untuk memenangkan pitching iklan yang diikutinya. Ia pun memanfaatkannya untuk kepentingan menjalin relasi dengan seorang wanita teman kerjanya dan juga untuk memperbaiki hubungannya dengan anaknya.

Nah, inilah salah satu contoh customer insight. Film ini bisa menjadi inspirasi bagi semua marketers. Marketers harus bisa menjadi seperti Nick Marshall tadi, yang bisa benar-benar memahami orang lain (baca: pelanggan) secara luar-dalam. Bukan hanya yang diucapkan secara lisan, namun juga yang tidak diungkapkan. Karena apa yang ada di pikiran seseorang tidak jarang sangat berbeda dengan apa yang diucapkan olehnya.

Customer insight seperti ini bukan hanya ada di film. Di Indonesia sendiri malah sudah pernah ada contoh nyata “customer insight” yang lebih dramatis. Pada tahun 1974, ada seorang wanita antropolog dan jurnalis asal Amerika bernama Wyn Sargent. Ia pergi ke Lembah Baliem di Papua untuk meneliti kehidupan penduduk asli di sana, yaitu suku Dani.

Sargent yang saat itu berusia sekitar 46 tahun ini bukan sekadar ingin menjadi peneliti “dari luar” saja. Ia benar-benar ingin “immerse”, ingin “masuk” dan menjadi bagian dari suku tersebut. Sargent pun tinggal bersama-sama suku Dani tersebut, dan bahkan sempat menikah dengan kepala sukunya yang bernama Obaharok!

Inilah yang saya kira merupakan upaya “customer insight” yang paling fenomenal sampai saat ini. Kisah ini sempat heboh saat itu. Sargent kemudian memang kembali ke Amerika. Ia pun menuliskannya dalam buku berjudul People of the Valley. Sebelum pergi ke Papua tadi, Sargent juga sempat meneliti suku Dayak di Kalimantan dan menuliskan pengalamannya dalam buku berjudul My Life with the Headhunters. Bisa kita lihat bagaimana gigihnya Sargent ini dalam upayanya memahami sosial-budaya masyarakat setempat.

Nah, dalam konteks marketing, apa yang dilakukan Sargent ini menunjukkan bahwa aspek sosial-budaya merupakan aspek yang paling penting—dan juga paling sulit—dalam upaya memahami pelanggan. Masyarakat yang tinggal di satu tempat tertentu menganut keyakinan (belief) dan nilai-nilai (values) yang berbeda dengan masyarakat di tempat lain. Keyakinan dan nilai-nilai ini sudah terserap secara tidak sadar dan berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi. Karena itu, terbentuklah karakter masing-masing masyarakat sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya.

Di Indonesia, sebagai marketers kita harus benar-benar mencermati aspek sosial-budaya ini karena Indonesia memiliki banyak etnis, bahasa, agama, dan adat yang berbeda-beda. Perubahan gaya hidup dan perilaku harus benar-benar diamati karena sifat perubahan sosial-budaya ini bersifat inkremental dan “halus”, sehingga kadang tidak terdeteksi. Beda misalnya dengan perubahan dalam aspek politik-legal yang sifatnya seketika atau perubahan teknologi yang bisa terlihat jelas.

Apalagi, seperti juga pernah saya bahas, Indonesia sudah sangat berbeda dengan zaman Orde Baru dulu. Otonomi daerah yang ada membuat sosial-budaya Indonesia yang dulunya cenderung homogen (alias jakarta-sentris dan jawa-sentris) sekarang menjadi sangat beragam.

Karena itu, perusahaan nasional harus mendalami masalah sosial-budaya pelanggan di tiap-tiap daerah. Di era New Wave Marketing ini, kantor pusat di Jakarta tidak bisa lagi menyusun kebijakan yang sama untuk semua kantor cabang-kantor cabang di daerah-daerah, karena memang pelanggan di tiap-tiap daerah tersebut berbeda-beda

0 comments:

Blog Archive


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Ebook Download