Monday, January 12, 2009

Day 20

The Insight Challenge: How Deep Can You Go?

INI jelas bukan tentang “How Low Can You Go”-nya A-Mild dulu ketika menantang merek lain soal kadar tar dan nikotin dalam rokok. Tapi, di zaman New Wave Marketing ini, tantangannya adalah, sedalam apa kita bisa mengerti pelanggan. Memang, dari dulu, upaya memahami pelanggan ini sangat sulit. Sekarang ini lebih susah lagi karena tiga hal berikut.

Pertama, customers want to look good. Mereka tidak ingin kelihatan jelek atau kekurangannya diketahui orang lain. Coba saja Anda tanyakan ke anak-anak muda, pernahkah mereka memakai viagra. Sebagian besar pasti mengaku belum pernah, walaupun kenyataannya belum tentu begitu.

Coba juga Anda tanya ke setiap laki-laki yang baru saja keluar dari toilet umum, apakah mereka sudah mencuci tangannya. Saya yakin hampir semua pasti bilang sudah, walaupun sebenarnya belum. Ini terjadi karena orang sudah dari sono-nya cenderung enggan mengungkapkan hal-hal yang bisa membuat malu mereka atau yang menunjukkan kekurangan mereka.

Masalah kedua, banyak bias yang bisa muncul kalau orang sengaja ditanya tentang suatu hal. Ini terjadi antara lain karena pengaruh lingkungan atau mereka kesulitan mengungkapkan maksud yang sebenarnya. Misalnya saja ketika orang ditanya, warna mobil apa yang disukai oleh mereka. Kebanyakan saya yakin akan menjawab hitam. Ini belum tentu warna yang sesungguhnya mereka sukai, namun bisa saja terjadi bias karena mayoritas mobil yang mereka lihat sehari-harinya berwarna hitam. Atau ketika orang ditanya tentang rasa suatu makanan. Jawabannya bisa terlalu generik, enak atau tidak enak. Namun ketika diminta mengungkapkan lebih lanjut apa yang dimaksud enak atau tidak enak itu, mereka kesulitan menguraikannya.

Masalah ketiga yang membuat pelanggan semakin susah dimengerti adalah mereka begitu gampang bohong. Hal ini terutama didorong oleh kemajuan teknologi. Orang tidak perlu lagi bertemu atau berbicara secara langsung (face-to-face). Cukup lewat telepon, e-mail, atau online survey. Lihat saja, banyak laki-laki yang sehari-harinya terlihat pendiam namun bisa jadi perayu ulung lewat SMS atau saat chatting online.

Begitu juga dengan survei-survei yang dilakukan lewat telepon atau Internet. Kita akan lebih mengalami kesulitan mengetahui apakah responden berkata atau mengisi kuesionernya secara jujur jika tidak diverifikasi lebih lanjut. Beda misalnya jika bertemu secara langsung. Dari raut muka, nada bicara, dan bahasa tubuhnya, kita akan lebih bisa mendeteksi apakah seseorang berkata jujur atau tidak.

Nah, ketiga hal inilah yang membuat upaya kita memahami pelanggan semakin sulit, dan pada akhirnya membuat program marketing kita gagal. Lantas, bagaimana cara untuk bisa lebih memahami pelanggan ini?

Ada satu ungkapan menarik dari CEO Worldwide Saatchi & Saatchi, Kevin Roberts, “If you want to understand how a lion hunts, don’t go to the zoo. Go to the jungle.” Inilah kuncinya. Sebagai marketers, kita harus bisa mengamati pelanggan, bagaimana mereka hidup dan bekerja pada kondisi alaminya (natural setting). Dari sinilah kita bisa mendapatkan the real insight dari pelanggan kita.

Studi yang digunakan untuk mendapatkan insight pelanggan seperti ini dikenal dengan nama Ethnography Marketing (EM). EM sebenarnya berakar dari disiplin ilmu antropologi. Di sini marketers menggunakan dasar-dasar ilmu antropologi untuk memahami bagaimana orang membeli, menggunakan, atau merelasikan dirinya dengan sebuah produk.

Dibandingkan metode riset biasa seperti wawancara atau focus group discussion (FGD), customer insight seperti lewat EM ini cakupannya lebih sempit, namun juga lebih dalam dan lebih bersifat terbuka (open-ended). Banyak hal yang bisa dieksplorasi lebih lanjut.

Lokasi risetnya juga bukan di satu tempat tertentu seperti di laboratorium atau ruang FGD misalnya. Namun dilakukan di tempat yang sebenarnya, tempat sehari-harinya orang tersebut beraktivitas. Bisa di rumah, kantor, toko, ruang publik, restoran, event-event seperti saat konser musik atau lomba balap mobil, atau di tempat-tempat lain. Lewat cara seperti ini kita akan lebih bisa memahami soal kepuasan, ketidakpuasan, atau keterbatasan pelanggan dibanding pendekatan riset lainnya.

Di MarkPlus sendiri, kami telah melakukan EM ini, yang kami namakan VenuSight®. Sejumlah proyek yang telah kami garap memang membuktikan bahwa pendekatan EM mampu memberikan banyak temuan yang mungkin tidak bisa didapat lewat pendekatan riset biasa.

Memang, di era New Wave Marketing ini marketers harus semakin bisa “menyelam” (immerse) dengan pelanggan. Dengan demikian marketers akan lebih mampu menemukan latent needs dari pelanggan dan pada akhirnya dapat membuat produk yang benar-benar bisa diterima oleh pelanggan.

0 comments:

Blog Archive


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Ebook Download