Monday, December 22, 2008

Day 5

Marketing Olympics: One Game, One Market

ANDA nonton Olimpiade Beijing kemarin?

Luar biasa, bukan? Begitu Olimpiade ini ditutup dengan sukses, China sudah tidak bisa diabaikan lagi di peta dunia.

Bangsa ini sukses sebagai tuan rumah dan juara umum sekaligus. Acara pembukaan dan penutupannya yang sangat spektakuler bahkan dianggap sebagai salah satu show terbaik sepanjang sejarah.

Ucapan Confucius sekitar 2500 tahun lalu, “It is glorious to receive friends from afar”, adalah local wisdom yang dipakai sebagai universal message di Olimpiade terbesar itu.

Seolah China mau membuktikan pada dunia, walaupun sistem politik mereka masih Vertikal satu partai, Partai Komunis China, tapi secara sosial-budaya orang China sudah sangat Horisontal sejak dulu.

Di Olimpiade Beijing tersebut, negara Tirai Bambu ini juga seolah ingin menunjukkan bahwa dua hal itu saling memperkuat, bukannya menetralisir satu sama lain.

Pesan Horisontal lainnya bisa dilihat pada sosok Bono. Frontman U2 asal Irlandia yang nama aslinya Paul David Hewson ini memang bukan cuma terkenal sebagai penyanyi, tapi juga sudah lama terkenal sebagai tokoh humanis.

Terlahir dari seorang ibu yang berasal dari Gereja Anglican Irlandia dan bapak yang menganut Katolik Roma, Bono dibesarkan di tengah situasi perang antar agama di negerinya. Karena itu, Bono menulis banyak lagu yang memprotes situasi di kampung halamannya tersebut. Ia juga terlibat dalam berbagai gerakan humanisme. Salah satunya yang terkenal adalah dengan mendukung gerakan Coexist yang menyampaikan pesan perdamaian di antara tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi.

Tak heran, dengan tema universalnya ini Bono mendapat banyak dukungan. Salah satunya dari Barack Obama, yang memakai lagu Beautiful Day dari U2 untuk mengiringi acceptance speech-nya pada Konvensi Partai Demokrat lalu.

Di Bali, dekat lokasi Ground Zero di Legian, pernah ada poster yang mirip gerakan yang serupa Coexist ini, namanya “Five Fingers of the Same Hand”. Ada gambar tangan dengan gambar hati di telapak tangannya dan masing-masing jari bertuliskan Buddhist, Hindu, Muslim, Jewish, dan Christian.

Yang menarik juga adalah kematangan masyarakat dunia dalam menanggapi beredarnya video klip Fitna dari anggota parlemen Belanda, Geert Wilders, di Internet.

Ternyata orang tidak terpancing untuk terus-terusan marah dan membalas secara membabi-buta, tapi malah ide Fitna yang memfitnah itu tidak laku dijual di mana-mana.

Saya malah terkesan dengan ucapan Selamat Hari Natal tahun 2007 lalu yang berasal dari ratusan pemikir muslim dari sekitar 40 negara. Di situ, para pemikir Islam yang didukung oleh sebuah institut yang dipimpin oleh Pangeran Ghazi bin Muhammad bin Talal dari Jordania ini mengutip ayat Al-Qur’an tentang kelahiran Nabi Isa. Bagi saya, ini menunjukkan bahwa walaupun agama dan keyakinan berbeda (Vertikal), namun sebagai sesama manusia kita bisa saling menghormati (Horisontal).

Bagaimana dengan India yang sekarang juga disebut sebagai bagian dari Kebangkitan Asia baru?

Walaupun mayoritas penduduknya beragama Hindu, India ternyata bukan cuma punya ikon seperti Mahatma Gandhi yang menganut Hindu. India juga punya ikon seperti Bunda Teresa yang Suster Katolik Roma dan Taj Mahal yang mausoleum kebanggaan masyarakat muslim. Sekali lagi, agama yang bersifat Vertikal bisa “hidup berdampingan” dengan aspek kemanusiaan dan sosial-budaya yang bersifat Horisontal.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia sendiri?Saya selalu belajar dari teman saya Prof. Komaruddin Hidayat yang Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

Katanya, semakin kita punya teknologi tinggi yang bisa menjelajah galaksi, maka tiap-tiap manusia jadi semakin kecil dan tidak berarti.

Pertentangan agama dan etnik yang sangat vertikal itu jadi semakin tidak ada artinya.

Kalau semua kita sudah mencapai tingkat Sufi, maka agama masing-masing akan jadi kelihatan lebih indah.

Indonesia beruntung sekali mempunyai Pancasila, yang sila pertamanya, Ketuhanan yang Maha Esa, bersifat Vertikal dan sila keduanya, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, bersifat Horisontal.

Selain itu, konsep Rahmatan lil Alamin yang dianut kaum muslim—mayoritas penduduk Indonesia—juga menunjukkan horisontalisasi sesuatu yang vertikal.

Maka, balik lagi ke Olimpiade Beijing tadi. Bagi saya, Olimpiade Beijing bisa menjadi inspirasi untuk para New Wave Marketer.

Bersainglah untuk negara Anda (Vertikal), tapi dengan fair (Horisontal). Berjuanglah untuk menjadi juara, namun tetap dengan sportif dan mematuhi aturan-aturan main yang ada.

Kenapa?

Ya karena pasar global telah menjadi datar, artinya semua mendapat kesempatan yang sama.

Dan, bersaing di era New Wave layaknya seperti bersaing untuk merebut medali di berbagai pertandingan di Olimpiade Beijing.

0 comments:

Blog Archive


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Ebook Download