Tuesday, January 6, 2009

Day 13

The Seven Steps to Nirvana

“A business does more than transact. It communicates. It collaborates. It innovates.”

Itulah yang dikatakan Mohan Sawhney dan Jeff Zabin dalam bukunya, The Seven Steps to Nirvana.

Buku ini judulnya memang bisa membingungkan. Mungkin ada yang mengira buku ini tentang spiritualisme.

Padahal sebenarnya, buku ini membahas tentang manfaat e-business (baca: teknologi) dalam sebuah perusahaan. Kata “nirvana” bermakna bahwa kalau sebuah perusahaan bisa menjalankan tujuh langkah yang ada dalam buku ini, niscaya perusahaan tersebut akan mampu mencapai puncak tertinggi dan jadi pemenang.

Kedua penulis mengatakan hal tersebut pasca meletusnya gelembung dotcom pada sekitar tahun 2000. Sawhney dan Zabin bilang, teknologi semahal dan secanggih apapun yang dipraktikkan dalam e-business tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak menjalankan langkah-langkah yang tepat.

Prinsipnya, e-business haruslah tetap customer-centric, bukan technology-centric.

Inilah yang rupanya kurang diperhatikan oleh para dotcom entrepreneurs saat itu. Mereka kalah bersaing dan akhirnya terjadilah peristiwa dotcom bust. Padahal, teknologi yang digunakan mereka sudah sangat canggih. Modal juga melimpah ruah dengan hadirnya venture capital di mana-mana.

Namun, tetap saja banyak perusahaan dotcom yang kalah bersaing dan akhirnya mati.

Sawhney dan Zabin bilang, penerapan teknologi haruslah selalu menghasilkan satu atau lebih dari empat kemungkinan berikut: pengurangan biaya (cost reduction), peningkatan pendapatan (revenue expansion), pengurangan waktu (time reduction), dan/atau peningkatan relasi (relationship enhancement).

Nah, jadi gampangnya, kalau teknologi yang Anda gunakan tidak mampu menghasilkan salah satu dari keempat hal di atas, berarti Anda menerapkan teknologi yang keliru.

Untuk mencapai hal-hal tersebut, ada tujuh langkah yang harus dilakukan. Pertama adalah menentukan visi terlebih dahulu. Kemudian proses evolusi agar perusahaan siap menerapkan teknologi. Lalu perumusan strategi. Disusul berturut-turut sinkronisasi, penyusunan infrastruktur, kapitalisasi, dan penyiapan organisasi.

Visi memang harus diletakkan pertama kali. Proyek Iridium dari Motorola pada akhir 1990-an misalnya, gagal karena visi yang salah.

Proyek tersebut bertujuan menyediakan telepon seluler dengan kemampuan jelajah (roaming) global pada mainstream market. Intinya, tidak ada lokasi di dunia ini yang bisa luput dari jangkauan Proyek Iridium ini. Namun pasar ternyata tidak meresponnya.

Coba, bayangkan, berapa banyak sih, pelanggan telepon seluler yang punya kebutuhan komunikasi global. Apalagi harga hand-set-nya jauh lebih mahal ketimbang harga hand-set

telepon seluler biasa saat itu.

Visi bisnisnya memang kurang tepat. Daripada menyasar mainstream market, seharusnya Proyek Iridium ini menyasar pasar-pasar ceruk (niche) seperti para geologist atau personel militer yang berada di lokasi-lokasi terpencil.

Karena visi yang keliru inilah, Proyek Iridium akhirnya dinyatakan bangkrut pada tahun 1999. Padahal investasi yang dikeluarkan sudah mencapai 5 milyar dollar AS!

Langkah lainnya adalah strategi. Berpikir secara strategis tentang e-business adalah berpikir lebih sebagai seorang arsitek, bukan insinyur. Arsitektur harus didahulukan ketimbang engineering.

Maksudnya, kita harus berpikir tentang skema besar di mana bisnis tersebut disusun, bukan fokus kepada komponen individual atau proses bisnisnya. Arsitek berpikir secara sintesis, sementara insinyur berpikir secara analitis.

Pada Januari 1999, Jack Welch, CEO GE, meluncurkan program “Destroy Your Business” di GE. Setiap unit menganalisis pesaing masing-masing yang berkaitan dengan e-business. Kemudian, masing-masing unit itu bertindak seolah-olah sebagai pesaing tersebut dan membuat rencana bisnis untuk “menghancurkan” GE.

Setelah itu, pada tahap selanjutnya, barulah unit-unit GE itu menyusun program, bagaimana arsitektur bisnis yang ada sekarang akan diubah untuk menanggapi ancaman ini.

Hasilnya? Semua unit bisnis GE tadi akhirnya mampu menemukan cara baru dan kreatif untuk meraih pelanggan baru dan melayani pelanggan lama dengan lebih baik.

Inilah yang dimaksud berpikir sebagai seorang arsitek. Welch mencoba melihat dan mendesain “bangunan” bisnis yang ada secara keseluruhan terlebih dahulu dengan menempatkan pesaing sebagai bagian dari bisnis. Barulah kemudian ia mengkonstruksi bisnisnya kembali untuk bisa bekerja lebih baik.

Memang, dalam era New Wave Marketing yang semakin transparan dan semakin mudah mendapatkan informasi ini, pesaing justru bisa menjadi “mitra” yang sangat berharga untuk pengembangan bisnis kita. Kalau kita tahu kemampuan pesaing, dengan sendirinya kita juga bisa meningkatkan kemampuan kita agar tidak didahului oleh pesaing.

0 comments:

Blog Archive


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Ebook Download