Friday, January 2, 2009

day 11

From Thai Boxing to American Wrestling

DARI tinju ala Thailand sampai ke gulat gaya Amerika.

Adalah Pak I Nyoman G. Wiryanata, Direktur Konsumer PT Telkom Indonesia, yang mengatakan istilah itu kepada saya.

Beliau ingin menggambarkan betapa kacaunya persaingan di dunia marketing saat ini, khususnya di industri telekomunikasi di Indonesia.

Bagaimana tidak. Barangkali susah dicari suatu negara yang jumlah operatornya sebanyak Indonesia. Kalau saya tidak salah catat, saat ini ada 10 operator seluler di Indonesia, baik yang berbasis GSM maupun CDMA. Mereka adalah: Telkomsel, Indosat, XL, Telkom (Flexi), Bakrie Telecom (Esia), Mobile 8 (Fren), Smart, Sampoerna Telekomunikasi (Ceria), Hutchison CP (3/Three), dan Natrindo Telepon Seluler (Axis).

Para operator tersebut melihat bahwa Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation and Amortization (EBITDA) di industri telekomunikasi di Indonesia ini memang masih sangat tinggi. EBITDA ini merupakan metrik yang biasa digunakan untuk menghitung kinerja keuangan dan mengevaluasi tingkat profitabilitas sebuah perusahaan beraset besar seperti dalam industri telekomunikasi. Semakin tinggi nilai EBITDA-nya, berarti perusahaan atau industri tersebut semakin bagus kinerja keuangannya.

Berdasarkan laporan terkini dari lembaga Research and Markets yang berjudul ”2Q08 Indonesia Mobile Forecast, 2008 - 2010: Indonesia will continue to be the most profitable mobile market in East Asia”, EBITDA industri telekomunikasi seluler di Indonesia diperkirakan akan mencapai angka 64% pada tahun 2010.

Selain itu, tingkat penetrasi telekomunikasi seluler di Indonesia diperkirakan juga akan terus meningkat. Dari sekitar 50,7% pada tahun 2008 ini menjadi 62,7% pada tahun 2010. Jumlah pelanggan juga akan meningkat dari 115,6 juta pada tahun 2008 ke 146,5 juta pelanggan pada tahun 2010.

Coba, sekarang siapa yang tidak tergiur melihat angka-angka tersebut?

Karena itu, semua pemain mati-matian untuk meraih pangsa pasar (market share) dari segi jumlah pelanggan yang sebesar-besarnya. Strategi pemasaran yang kemudian digunakan adalah dengan melakukan perang harga yang tak terkendali. Semua operator seluler berlomba-lomba mengiklankan dirinya sebagai yang paling murah lewat media cetak, elektronik, maupun media luar ruang.

Perang harga ini memang bukan semata karena secara internal para operator seluler tersebut bisa melakukan pengurangan biaya. Tarif komunikasi seluler, baik percakapan maupun layanan SMS, memang sudah diturunkan oleh pemerintah sejak 1 April 2008 lalu. Jadi, karena secara industri tarifnya turun, para operator seluler juga mengikutinya.

Namun celakanya, iklan-iklan perang tarif yang dibuat sudah kebablasan. Ada yang menyerang operator lain walaupun secara tersamar. Informasi yang ada dalam iklan tersebut juga kadang menyesatkan, sehingga banyak menimbulkan protes dari pelanggan.

Karena itulah, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) turun tangan mengingatkan para operator tadi. Iklan yang ada tidak boleh melampaui batas etika dan tidak boleh memberikan informasi yang kurang lengkap sehingga terjadi misinterpretasi di kalangan konsumen. Selain itu, walaupun terjadi perang tarif, namun kualitas layanan harus diutamakan dan tidak boleh terganggu.

Persaingan di industri telekomunikasi seluler di Indonesia ini memang sudah agak kacau.

Mengambil ilustrasi dari olahraga tinju dan gulat, kita bisa melihat tiga tingkat persaingan.

Yang pertama adalah Traditional Boxing. Semua orang—petinju, wasit, hakim, pelatih, penonton—ikut aturan. Petinju hanya dapat nilai kalau tinjunya kena muka lawan.

Kalau yang ditinju kepala bagian belakang atau perut bagian bawah, nggak dihitung, bahkan bisa diperingatkan wasit dan dikurangi nilainya. Selain itu, juga tidak boleh menggunakan kaki untuk menendang lawan.

Nah, persaingan tingkat kedua adalah Thai Boxing. Ini lain lagi ceritanya. Sekarang boleh menggunakan kaki untuk menendang lawan secara legal. Tapi, di sini pertarungannya masih berlangsung relatif terkendali karena masih ada aturan yang dipatuhi.

Tapi, kalau persaingannya sudah mencapai tingkat American Wrestling, wow, kacau sekali.

Tidak jelas, siapa kawan siapa lawan. Yang tadinya kawan bisa jadi lawan. Semua benda mulai dari meja, kursi, palu, sampai tangga besi bisa digunakan untuk menghantam lawan.

Lawan juga bisa diuber sampai di luar arena pertandingan. Wasitnya bisa ikut-ikutan dipukul.

Benar-benar kacau, karena nyaris tidak ada aturan yang berlaku.

Nah, tentu tidak ada yang menginginkan persaingan seperti American Wrestling ini, bukan?

Bukan hanya pemain yang akan repot karena bisa menggerus profit. Pelanggan juga dirugikan karena kualitas layanan bisa terganggu. Secara industri juga bisa berdampak negatif karena bisa menimbulkan oligopoli.


Hermawan Kartajaya

0 comments:

Blog Archive


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Ebook Download